Tentang Saya

Foto saya
seorang gadis biasa yang ingin bercerita tentang bagaimana menariknya naskah kehidupan di tulis ☺

Jumat, 24 Mei 2013

Cerpen : Loncati saja pagarnya


Malam Terindah
(cipt. Wenti Rizky A)
Hari ini adalah akhir pekan yang benar – benar menyedihkan.
Ku buka mataku dan sinar mentari tampak malu – malu menembus dari korden jendela kamar. Aku menoleh kearah meja belajar, ini sangat menyakitkan bahwa aku akan selalu teringat roti isi selai kacang yang biasanya tersedia di sana.
Ku rapikan selimut dan bantal di atas tempat tidur, perlahan ku langkahkan kakiku menuju lantai bawah. Satu satu anak tangga ku lalui, biasanya aku akan melihat ayah membaca koran paginya kemudian dia akan berkata, “sudah bangun rupanya.” Lalu dia akan kembali membaca Koran sambil menyeruput teh hangatnya.
Ku arahkan langkahku menuju pekarangan belakang rumah kami.
***
“Hanii, lebih baik setelah tamat sekolah kamu melanjutkan sekolah di Semarang dan menetap di sana bersama nenek.” Dia adalah adik ibu ku yang bertanggung jawab terhadap segala tentang diriku, Om Hardi.
“Itu adalah pilihan terbaik. Daripada kamu terus menerus menetap disini dan tidak ada yang mengurus.” Om Hardi berupaya keras membujukku untuk mengikuti kemauannya.
“Sudahlah mas, terus terang saja kalau kita sudah sangat malu di buatnya. Lagipula, seharusnya dia bersyukur masih ada keluarga yang mau mengurus anak gila seperti dia ! dasar gadis bodoh !” Istrinya ikut menyahut.
“Stttt,” om Hardi menyikut istrinya.
Mereka berdua duduk persis di depanku, seolah ingin menghakimi aku seperti seorang tersangka.
“Hani, cobalah fikirkan hal ini baik – baik. Kau masih punya banyak waktu, kabari om jika kamu sudah menemukan jawabannya yah.”
***
Susah payah kaki ku menggoyangkan ayunan ini. Ku biarkan diriku terguyur rerintikan hujan. Dari sini, jauh aku memandang langit mendung yang senantiasa menitikkan air mata kehidupan.  Seolah nyanyian kejam sedang mengiringi kelanjutan drama kisah yang ku lalui.
***
“Ehh Hani ya?” aku bertemu mereka yang dulu ku sebut teman, ketika aku sedang membeli keperluan untuk menghidupiku.
Aku tidak berkutik.
“Hani yang SMA jaya bangsa kan?” salah satu di antara mereka menepuk pundakku.
Aku menoleh.
“Apa kabarnyaa?”
“Udah lama gak liat yaa, masih inget kita kan? Kita pernah satu kelas loh waktu kelas 11.”
Aku menggangguk. Dan kembali melihat barang – barang yang di pajang dari kaca etalase.
“Lagi beli apa? Oh ya gimana kabar keluarga kamu?”
Ku lihat dari sudut mataku, salah satu di antara mereka menyikut salah satunya. “Eh sorry sorry.”
Aku membalikkan badan dan meninggalkan mereka.
“Kamu sihh..”
“Iya iyaa aku tauu, maaff”
“Tapi itu beneran Hani Gayatri kan? Dia jadi aneh ya?”
“Emang dari waktu itu kan?”
“Kapan?”
“Yaa dari kabar waktu dia ngebunuh orang tua nya sendiri itu.”
“Bukannya itu cuma gossip gak bener waktu SMA?”
“Ahh gak tau juga aku, katanya ortunya emang sering berantem. Terus dia---“
BRUK !!
Ku banting pintu market. Dan keluar dari sana.
***
Sepanjang aku berjalan, sepanjang itu pula aku mendapati pandangan sinis menghujami diriku. Aku tahu apa yang mereka fikirkan. Dan mungkin sebagian dari mereka berniat untuk menendang dan menghantamku hingga mati.
“Kenapa anak itu masih betah untuk tinggal disana?”
“Benar – benar membuat orang waspada.”
“Apa dia kira bertetangga dengan seorang pembunuh itu membuat kita tidak berfikiran negative.”
“Dasar orang gila !”
“Tiap malam aku selalu mendengar dia memecahkan segala barang yang ada di rumah itu.”
Atau mungkin pendapat pendapat lainnya yang lebih kotor akan menyinggahi telingaku untuk terdengar. Tapi aku telah terlatih untuk menjadi bisu. Aku telah terlatih untuk menjadi tuli.
***
Rintik hujan masih mengguyur kota hari ini.
Malam penghabisan.
Ku sediakan tiga piring, satu piring di hadapanku dan satu piring di samping kiriku. Ku sandingkan dengan satu set sendok dan garpu. Dan untuk malam ini, aku memesan steak dengan daging terbaik. Aku juga menyiapkan satu botol vodka simpanan ayahku.
Setelah semuanya sudah ku persiapkan, aku agak tergesa untuk naik ke lantai atas.
Ke kamar dan membersihkan tubuhku.
Aku tidak memerlukan waktu yang lama, untuk mencocokkan diri dengan sebuah gaun berwarna coklat muda. Ku gerai rambutku yang panjangnya sepinggang dan ku poleskan make up tipis ke wajahku.
Aku ingin terlihat cantik malam ini.
Hari ini akan menjadi makan malam terindah seumur hidupku.
Perlahan aku menuruni anak tangga.
Ku hidupkan lilin untuk menerangi makan malam kali ini.
 Aku tersenyum, “Ahh masih ada yang kurang.” Aku mengambil sesuatu dari dalam gudang da ku letakkan di atas meja makan.
Aku memutar lagu kesukaanku sambil menunggu dia datang.
Musik pengiring mulai di mainkan.
Ku ambil lagi barang yang ku lupakan tadi.
Sambil menunggu dia, aku mempersiapkan segala sesuatunya.
~~ It started out as a feeling
Which then grew into a hope
Which then turned into a quiet thought
Which then turned into a quiet word ~~
Ku hayati tiap baris lagu itu, dan bayangan – bayangan masalalu menyelimuti fikiranku.
**
“Sayangg, bangun sayangg. Sudah pagi, roti selainya masih hangat lhoo.” Ibu membangunkanku dan mencoba menggoyang – goyangkan tubuhku pelan.
Aku hanya mengeram kecil dari balik selimut, “iyaaaa”
“Ayah sudah menunggu di bawah. Hari ini ayah sudah janji untuk berlibur bersama kita kan?”
Seketika itu juga aku beranjak.
“Ayah gak bohong?” dan ibu menjawabnya dengan anggukan kecil.
Tanpa alasan lagi, aku langsung menuruni anak tangga dengan antusias. Ayah hanya meluangkan waktunya paling maksimal 1bulan sekali. Ini adalah waktu yang langka yang bisa di luangkan untuk pergi bersama.
“Ayahhhhhhh…”
Dari balik korannya ia menjawab. “Sudah bangun rupanya.” Lalu meminum secangkir kopi hangatnya.
“Ayah beneran mau pergi liburan sama aku?” aku mendekatinya sambil bergelayut manja.
Dan ibu menyusul dari belakang, kemudian duduk di samping ayah. Ia tersenyum manis.
Ayah menggeleng, “kita akan berlibur bersama.” Ujarnya sambil mengelus – elus rambutku.
“Ahhh maksud aku juga gituu.” Aku beranjak dan meminum kopi hangatnyaa.
“Ahh paitt—“
Hari ituu, kami pergi ke kebun binatang.
Aku mengenang kembali bagaimana hebohnya aku di sana bersama ayah dan ibu.
~~Now we’re back to the beginning
It’s just a feeling and now one knows yet
But just because they can’t feel it too
Doesn’t mean that you have to forget~~
**
“Hanii, hati – hati. Kamu bisa jatuh Hani.” Berkali – kali ibu berkata seperti itu, terlalu mencemaskan anaknya yang sudah berusia 16tahun.
“Iyaa ibu.” Aku menjawab seadanya ketika mencoba memanjat tiap anak tangga untuk naik ke atas tempat flying fox.
Tapi kakiku tidak memijak tempat yang benar, dan aku—
“Arghhhhhhhh!!”
“HANI !!!”
Seingatku, aku langsung di larikan menggunakan ambulans karena kepalaku mengalami pendarahan yang cukup parah.
Aku mencoba mengingat detail kejadian itu, tapi aku melupakannya. Yang aku ingat hanya ketika aku tidak sengaja mendengar pembicaraan Ibu dan Ayah.
“Sampai kapan kita akan menyembunyikannya dari Hani?”
Saat itu aku mendengar suara Ayah sangat berat dan Ibu hanya menangis sesegukan. Aku ingin segera bangkit tapi yang ku dengar membuatku bertahan untuk terus berpura – pura tidur.
“Aku tahu, Mass. Tapi bagaimana bisa aku menjelaskannya ke Hani?”
“Aku yakin Hani akan mengerti.”
“Aku takut hal ini akan melukai perasaannya.”
“Tolonglah Elina, aku yakin kapan pun hal ini akan terungkap. Bagaimana jika hari ini terjadi lagi dan Hani kesusahan untuk menerima bantuan transfer darah?”
Sebenarnya ada apa? Aku mendengar Ibu hanya menangis dan Ayah terdiam.
“Lebih cepat akan lebih baik, aku juga akan menjelaskan padanya. Dia tetap anak kita Elinaa.”
“Aku masih tidak sanggup mengatakan bahwa Hani adalah anak adopsi dan dia bukan anak kita.”
BRAK !
“I-ibu?”
Aku terkejut.
Ibu terkejut.
Sama halnya dengan ayah.
“AKU ANAK IBU ! AKU JUGA ANAK AYAH ! KITA—KITA CECK SEKARANG JUGA !”
“Hanii…” Ibu hanya memelukku  tapi aku mencoba untuk bangkit.
“KITA PERGI AYAHH ! RUMAH SAKIT ITU HANYA TIDAK TELITI ! AYO KITA CECK SEKARANG ! DIMANA KUNCI MOBIL?!”
Aku tahu dimana Ayah biasa meletakkan kunci mobilnya, aku menggenggam tangan Ibu dan ayah. Menggeret mereka dengan paksa keluar untuk langsung pergi ke rumah sakit.
“Hanii Hani, sudahlah nakk.” Ibu mencoba menenangkan fikiranku.
“Biarlah, biar dia benar – benar mengetahui apa yang sebenarnya.” Ayah mengambil kunci dari tanganku dan bergegas membuka pintu mobil.
“Hanii, kau tetap anak Ibu nakk. Tidak ada yang berubah.”
“AYAH ! CEPAT JALANKAN MOBILNYA !”
“Hanii~~”
**
~~It’s just a feeling and now one knows yet
But just because they can’t feel it too
Doesn’t mean that you have to forget~~
**
Bait terakhir sudah mengalun dari pemutar musik. Sepertinya dia akan segera datang. Aku tersenyum menanti kedatangannya.
Aku beranjak mematikan lampu, dan meminum secangkir vodka.
Aku masih menunggu kedatanganmu.
Lalu, aku menaiki kursi dan mengikat sebuah simpul yang indah di atas sana.
Ku tarik perlahan lalu ku bersihkan gaunku dari kotoran yang jatuh dari atap rumah.
Aku tersenyum, lagu masih mengalun indah di bawah sana. Ku kaitkan simpul itu mengelilingi leherku.
Ini akan menjadi malam yang indah.”
Ku tarik kuat, dan ku lemparkan kursiku jauh terpental menggunakan ujung kaki kanan.
Kini, simpul itu benar – benar menyiksaku, membuatku kehabisan nafas dan membawaku ke ujung kematian. Dari ujung rambut hingga ujung kaki serasa tertarik ke segala arah, pembuluh darahku serasa ingin pecah.
“E-ehekk.. E-ehekk..”
~~Let your memories grow stronger ans stronger
’Til they’re before your eyes~~
**
“Ayah !! Cepatlah ayah !”
“Hani, sudahlah nak.”
Untuk hari itu, aku tidak mempedulikan perkataan Ibu. Untuk pertama kalinya, aku tidak mengerti apa yang ku katakan.
“Ayahh ! Cepat Ayah !”
“Aku hanya memastikan bahwa aku anak kalian !”
CKITTTTTT !!
“Ayah hati – hati !”
“ARGGHHHHHHHH !!
BRAKKK !!
“AYAHH !!”
BRUK ! BRAK !!!
“HANI, AWASSS !!!”
“KELUAR DARI SINI NAK!”
CKITTTTTTTTTTTT----------!!
DUARRRR !!!
~~You’ll come back
When it’s over
No need to say good bye~~
**
Aku tidak memiliki tenaga lagi, kakiku hanya terjuntai ke bawah. Peluh terahirku menetes dari sudut pelipis. Pandanganku gelap.
Ternyata malam ini benar – benar menjadi malam terindah.
Aku menyediakan 3 kursi untukku, ayah dan ibu di suatu tempat agar kami bisa makan bersama.
***tamat***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar